Pernah dengar pepatah
"Kejamnya ibukota lebih kejam daripada ibu tiri" ?
Jika dipikir-pikir, istilah itu ada benarnya.
Menurut seseorang, saya lupa ntah dosen saya atau manager saya atau baca di buku, tipikal orang Indonesia itu, terutama yang tinggal di kota besar adalah
KONSUMTIF.
Saking konsumtifnya, sering kali seseorang mengalami besar pasak daripada tiang, dan tagihan kartu kredit jadi menumpuk, seperti saya misalnya,
hehehehee......Bagi karyawan golongan menengah yang tidak punya pendapatan kedua (passive income kek, usaha sampingan kek), tentu menggantungkan segala pengeluaran pada gaji bulanannya. Dan untuk menutup semua kebutuhan yang konsumtif itu, diperlukan gaji besar.
Sedangkan, tidak semua perusahaan bisa membayar karyawannya sesuai standard pasar atau bahkan di atasnya. Belum lagi orang-orang yang berusaha masuk ke perusahaan yang seperti itu jumlahnya bejibun melewati tes berlapis-lapis. Yang pintar dan beruntung, bisa lolos. Namun perjuangan dia ternyata belum selesai, karena dia harus mempertahankan performance-nya. Jika dia dianggap
COST oleh perusahaan, dan bukannya
ASSET, maka bersiaplah untuk ditendang dan digantikan oleh pendatang-pendatang baru yang siap bersaing. Seperti adik ipar saya, meski berhasil lolos menjadi trainee di BCA bersaing dengan ratusan kandidat lain, perjuangannya belum selesai. Dia harus belajar tiap hari supaya lolos tes tiap minggunya. Tahun depan, ia masih harus melalui seleksi karyawan tetap.
HIGH GAIN, HIGH RISK. Perusahaan yang memberi gaji di atas rata-rata, tentunya juga mengharapkan karyawan dengan kemampuan di atas rata-rata.
Orang-orang lain yang kurang beruntung bisa masuk ke perusahaan seperti itu, meski menyerah pada nasib dan melamar ke perusahaan lain supaya dapurnya tetap ngepul dan gak jadi pengangguran. Tidak jarang juga, mereka menerima pekerjaan yang kurang sesuai dengan ekspektasi, ntah itu jobdesk-nya atau salary-nya. Akibatnya, karyawan-karwayan di perusahaan seperti ini menjadi kutu loncat, loncat sana, loncat sini, mencari pekerjaan yang sesuai harapan dan salary yang lebih tinggi.
Ada salah seorang teman saya yang bilang jika gaji 2,5 juta di Jakarta itu
MIRIS.
Entah kenapa dia bilang begitu, padahal bila dilihat dari berbagai variabel, kondisi itu sangatlah masuk akal. Misal :
1/ Gaji 2,5 juta itu didapat dari pekerjaan part-time alias tidak setiap hari
2/ Dia adalah seorang fresh-graduate
3/ Persaingan di industri keahlian dia, di Jakarta ini sangat ketat. Semua orang ingin ke Jakarta demi penghasilan yang lebih baik, tapi tidak semua bidang kerja di Jakarta itu over demand, banyak juga yang over supply
Waktu saya fresh-grade dan kerja pertama kali di Surabaya tahun 2007, gaji saya CUMA 1,5 juta. Dan ketika saya mulai kerja di Jakarta tahun 2009, gaji saya juga berkisar sekitar 2,5 juta. Tapi apakah kondisi saya dengan gaji sekian miris ? NO. Saya masih bisa ngekos di tempat yang ada AC, Internet, dan water heater-nya. Saya bisa makan kenyang tiap hari, bahkan waktu itu saya lebih gendut dari saat ini. Tidak ada supply dari orang tua sepeser pun. Meski kalo saya bokek, kadang-kadang juga ditraktir makan sama cowok saya waktu itu :D
Mungkin orang-orang yang tidak pernah merasakan gaji sekecil itu bertanya-tanya bagaimana bisa gaji 2.5 juta mencukupi kebutuhan hidup di Jakarta ? Tapi kenyataan bilang itu bisa, lihat saja buruh-buruh yang cuma digaji 2,3 juta. Mereka bisa hidup berkecukupan.
Intinya, berapa pun gaji seseorang, pengeluaran harus bisa menyesuaikan. Kondisi idealnya, jika penghasilan meningkat, invetasi harus meningkat juga, tapi kenyataannya seringkali pengeluaran berbanding lurus dengan penghasilan. Makin tinggi penghasilan, makin tinggi juga pengeluaran (uuppss...ini seperti membicarakan diri saya sendiri :p )
Saya juga pengen curhat tentang kondisi suami saya, bagaimana dia mulai dari 0 lagi ketika sudah tidak tahan dengan pekerjaan pertamanya. Jadi ketika itu, dia datang ke Jakarta dengan tawaran gaji yang lumayan tinggi untuk ukuran fresh-grade. Tapi ternyata kerja di perusahaan itu tidak cocok dengan kata hatinya, dan dia memutuskan resign setelah setahun bekerja. Semua keluarganya menentang keputusan itu. Dia mulai melamar ke sana-sini mengharapkan diterima sebagai engineer elektonik. Tapi mendapatkan jobdesk yang sesuai susah sekali, akhirnya dia mencoba banting stir sebagai programer meski tidak yakin mampu, yang penting waktu kuliah sudah pernah dapet dasar logika coding. Akhirnya ada yang menerima, tapi dengan gaji hampir 50% lebih kecil dari pekerjaan pertamanya dan dengan pekerjaan baru yang dia sendiri tidak yakin menguasainya. Tapi dia pikir lebih baik perpenghasilan 50% lebih kecil daripada penghasilan 0, lebih malu lagi kalau sampai ngutang orang tua.
Hare geneee ??? Apa kata dunia ???Ternyata kerja di perusahaan ini sedikit membuat dia shock dan stress, singkatnya setelah 3 bulan, dia tidak diangkat jadi karyawan tetap karena dianggap kerjanya terlalu lama. Sedih tentu iya. Tapi dapur harus tetap ngepul, maka job-hunting dimulai lagi. Dengan bekal 3 bulan belajar coding, kali ini dia sudah lebih pede melamar sebagai programer dan berhasil diterima di perusahaan di mana dia bisa lebih enjoy dan belajar lebih banyak lagi. Gajinya standard, lebih tinggi sedikit dari yang sebelumnya, tapi tidak bisa dibilang di atas rata-rata. Selama dua tahun dia belajar menguasai beberapa program dan mengasah kemampuan coding. Akhirnya, ketekunannya membuahkah hasil juga. Mungkin ini rencana Tuhan, setelah menikah dia diterima di perusahaan yang bisa memberi dia gaji yang lebih tinggi dari saya, kenaikan gajinya lebih dari 50% thank God. Waduuhh...sedikit saya merasa kalah, karena sudah S2 tapi penghasilan tetap lebih kecil. Tapi apa saya berhak menjadikan S2 sebagai alasan untuk mendapatkan gaji tinggi ? kalau saya berpikiran begitu, seharusnya saya malu pada diri sendiri.
Jika ditilas balik, seandainya waktu itu dia tidak memutuskan resign dan nekat mendapat gaji kecil, mungkin saat ini kami belum bisa beli mobil.
Sekarang, saya merasa perlu lebih memperhatikan finansial keluarga. Tidak boleh sembarangan seperti dulu lagi. Porsi untuk invetasi harus ditingkatkan menjadi 30%, porsi untuk konsumtif dan living cost harus ditekan menjadi 50%, porsi amal harus dinaikkan menjadi 10%, dan porsi lain-lain yang selama ini tidak pernah terhitung harus dialokasikan 10%.
Pokoknya kalau jiwa konsumtif mulai merayap, 1 hal yang harus saya pikirkan,
"Kapan jadi pengusahanya kalau boros terus ?????"Jadi ingat film
"Billionaire", di mana si Top Ittipat harus jual mobilnya demi mendapatkan modal usaha, saya sih berharap jangan sampai mobil yang saya dapat susah payah harus melayang lagi demi buka usaha. Tapi kalau dapet mobilnya jatuh dari langit, ya bolehlah dipikirkan lagi untuk modal usaha dan ganti mobil yang lebih murah (atau motor)
heheheeeee...Ada lagi cerita dari teman kantor saya mengenai seorang anak yang dilahirkan di keluarga kaya, sejak kecil segalanya serba ada, dia tidak perlu berusaha keras untuk mendapatkan sesuatu. Namun nasib berputar, ketika orang tuanya meninggal, dia belum siap untuk mengurus bisnis keluarga dan lama kelamaan bisnis itu tidak segemilang saat diurus orang tuanya.
Semoga saja saya tidak mengulangi kesalahan orang tua saya dalam mengelola asset, saya sebagai anaknya yang sudah diberi pendidikan lebih tinggi seharusnya juga bisa menjadi lebih baik dan lebih makmur daripada orang tua saya yang cuma tamatan SMP dan SMA. Jadi suatu hari kelak, orang tua saya bisa menuai apa yang sudah ditanamkan mereka pada diri anaknya
ehuehehueheuhe...*prikitiuwAyo kita mencoba refleksi pada diri sendiri, jika kita sudah bergaji tinggi, masih bisakah kita hidup dengan lifestyle seperti saat kita bergaji kecil ? Misalnya, kalo udah punya mobil, masih mau naik motor gak ? Masih mau naik busway / angkot gak ? Kalo biasa makan delivery service, masih mau makan warteg gak ? Jangan mentang-mentang sudah kaya, lalu kita sudah lupa rasanya jadi orang susah :)