Thursday 20 September 2012

September Books Review


Sebenarnya buku-buku ini sudah saya beli pada awal Juli lalu, tapi karena saya bacanya cuma sebentar-sebentar, atau kalo pas lagi pup di WC aja jadi selesainya lama. Bahkan buku yang judulnya "Rumah Arwah" aka The House of Spirit belum sempat saya baca karena baru-baru ini saya beli buku Memoar Kwee Thiam Tjing dan buku ke-4 tetralogi Inheritance yang pastinya lebih menarik untuk dibaca. Heheee....

The Spiderwick Chronicle

Ini nih buku jadul yang bioskopnya mau diputar di Surabaya beberapa tahun silam sebelum saya hijrah ke Jakarta, udah lama banget ya ? Waktu itu saya ingat banget pengen nonton Freddie Highmore yang nampak cute di diorama-nya. Alhasil setelah saya kelar baca novelnya, saya langsung minta suami donlotin film ini karena penasaran. Ternyataaaaa......filmnya jelek, aktingnya si Freddie juga pas-pasan kalo gamau dibilang jelek, cuma modal tampang doank imut. Kuciwaaa deh saia.....
Jadi, novel fantasy ini modelnya mirip kayak Narnia, mungkin juga pengarangnya dapet ide dari sana. Tokoh utama cerita yang hidup di dunia nyata berhubungan langsung dengan dunia gaib peri-peri dan makhluk ajaib di sekitar mereka. Plot cerita dibangun dengan sangat cerdas dan unik oleh Holly Black disertai ilustrasi menarik oleh Tony Diterlizzi sehingga membuat pembaca (saya) gak sabar untuk segera menyelesaikan ke-5 serinya.


The Story Girl


Pemeran utama dalam novel ini adalah anak-anak berusia belasan tahun dengan segala problema khas anak. Topik yang diangkat pada tiap bab pun rasanya ringan dan ceria, sesuai dengan emosi yang ingin dibangun oleh L.M.Montgomenry tentang romantisme dan keindahan pulau Prince Edward di musim panas dan musim gugur. Pengarang cewek itu tidak pernah membiarkan dirinya lupa menggambarkan betapa indah padang rumput, kebun buah, hutan mapple, gunung, lembah, bukit, tempat bermain, hutan, dan kebaikan hati orang-orang di Carlisle.
Saya ingin sekali bisa menceritakan keceriaan masa kanak-kanak yang begitu antusias dan penuh impian serta semangat dalam karya fiksi saya seperti yang sukses dilakukan L.M.Montgomery.


Nobody's Boy


"Slamat pagi pohonku...slamat pagi gunungku...slamat pagi teman-teman semuaaa....Aku kan pergi jauh demi cita-citaku, Remi mohon doa restu darimuuu...Jangan bersedih teman-temanku, hidup ini adalah perjuangan...marilah kita mulai melangkah, menuju cita-cita bahagiaa...."
Ya ampunnn, saya gak nyangka masih inget bagian lagu pembuka anime "REMI" yang ditayangkan RCTI setiap hari minggu pada tahun 1995, film animasi 3D pertama yang katanya kalo nonton kudu pake kacamata 3D, tapi meski udah saya pake, kayaknya itu efek 3D ga terlalu nampol hahahahaa....jaman dulu :D
Seperti yang sudah saya duga, membaca novel ini juga bisa membuat saya mencucurkan air mata, sama seperti ketika nonton anime-nya. Memang novel ini saya lahap dalam waktu sekejap dibanding ketika membaca The Story Girl, itu karena Hector Malot bisa menceritakan kisah dengan realistis dan mengalir apa adanya. Tapi ada poin minus dalam plot cerita ini, yang membuat aura jadulnya sangat terasa, yaitu kebahagiaan yang ditemukan dalam gelimangan harta. Yeahh..cinderella boy. Sang tokoh utama si Remi ternyata anak orang kaya, dan setelah penderitaan yang begitu panjang, ia bertemu dengan ibu kandungnya yang ternyata janda kaya, dan Remi adalah salah satu pewaris kekayaannya. Klise banget kan ?? Emangnya kalo udah kaya terus ga ada masalah yah ?? Untungnya Remi adalah anak yang baik, jadi meskipun kaya, dia tetap ingat sama orang-orang yang membantunya semasa masih miskin, dan dia nyumbangin duitnya buat mendonasi anak-anak pemusik jalanan.
Kalo alternate ending di animenya yang saya browsing di youtube, setelah Remi menemukan ibu kandungnya, ia tetap memutuskan untuk berkelana bersama sahabat sejatinya Mattia menjadi pemusik jalanan dan belajar mengenai kehidupan. Nahh...yang ini lebih mending. Para penulis script anime yang notabene adalah orang-orang modern mungkin berpikir, "so what kalo lu udah kaya ? it is not a fairy tale yang mesti berakhir di dalam istana jadi pewaris tahta dan gak ngapa-ngapain."



Menjadi Tjamboek Berdoeri


Ini adalah memoar tentang Kwee Thiam Tjing, seorang jurnalis yang aktif di tahun 1920-1930an dan pernah menulis buku Indonesia Dalam Bara & Api yang cukup fenomenal karena menuturkan pembantaian puluhan warga etnis Tionghoa di Malang.
Saya mengetahui buku ini dari suatu blog ketika browsing tentang Malang Tempo Doeloe dan cukup tergelitik untuk membacanya.
Gaya bahasa Thiam Tjing menurut saya cukup unik, karena meskipun ia mengangkat topik yang cukup serius, dia bisa menuturkannya dengan sesuatu yang lucu dan menggelitik. Entah bagaimana saya harus menyebutnya...Yang jelas saya cukup sering tertawa sendiri ketika membaca ulasan beliau mengenai perbedaan perlakuan yang diterima Inlander dan Nederlander,  atau ketika cowok-cowok ABG MULO menggoda cewek-cewek ABG Cor Jesu lalu disiram air oleh suster, atau sindiran si pemilik toko kebangsaan Jepang yang barangnya dianggap murahan, atau ketika rakyat Indonesia sama-sama meneriakkan "BANSAIIII" meski mereka tidak tahu artinya.
Saya membaca buku ini secara random, tidak urut dari depan ke belakang, sehingga masih banyak bagian yang belum sempat saya baca. Tapi saya jadi punya sedikit gambaran bahwa kondisi yang ingin saya tampilkan dalam literatur bebas saya ternyata tak sesuai dengan kenyataan yang terjadi di masa lalu, di mana kebebasan sangat mahal harganya.


Inheritance


Ini buku ke-4 Inheritance karya Christopher Paolini dan merupakan buku terakhir dari petualangan penunggang naga Eragon dan naganya Saphira. Ketika membaca beberapa bab di depan, saya sudah merasa bahwa buku ini jauh lebih menarik daripada buku ke-3 nya BRISINGR yang cukup membosankan dan bertele-tele.
Menurut teman saya, di seri terakhir ini cukup banyak adegan pertarungan ala abad pertengahan yang menegangkan, tentu saja karena di seri ini tokoh-tokoh utama harus menghadapi The Final Boss Galbatorix.
Lupakan tentang filmnya yang busuk, cukup nikmati saja petualangan Eragon dan Saphira di setiap lembarnya.


Next Book To Read....
The House Of Spirit, Peranakan Tionghoa di Nusantara, Candu Tempo Doeloe

Aduhhh, kapan yah bacanya ?! kebiasaan buruk saya adalah tidak dapat menahan diri dari godaan iman kalo lagi di toko buku, apalagi kalo kartu kreditnya masih ada saldo T__T
Buku lama belum kebaca, udah beli buku baru lagi >_<


"Jangan biarkan saya berkeliaran sendiri di toko buku atau saya akan kembali tanpa tangan hampa...."